TIGA EPISTIMOLOGI MUHAMMAD ABID AL-JABIRI
A.
Latar belakang
Pergulatan modernitas[2]
dan tradsisi[3] dalam islam melahirkan
upaya-upaya atas tradisi yang telah ada. Meskipun gerakan ini tidak dapat
disebut sebagai modernisme islam karena konteksnya berbeda. Modrnisme[4]
sebagai gerakan, berawal dari dunia barat yang bertujuan untuk menghentikan
ajaran agama katholik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak
pada saat proses sekularisasi dunia barat.
Pada titik ini umat islam dipaksa
memikirkan kembali tradisi yang dipegangnya berkaitan yang apa yang terjadi
pada masa itu. Respons ini melahirkan gerakan-gerakan pembaharuan. Akan tetapi,
pembaharuan islam bukan sekedar reaksi Muslim atas perubahan tersebut. Banyak
sekali tokoh penting dalam gerakan pembaharuan diantara dalah satunya adalah
Muhammad Abid Al-Jabiri salah seorang filosof dari Maroko.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka setidaknya ada beberapa
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri ?
2. Kaya Muhammad Abid Al-Jabiri ?
3. Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan
makalah
ini berdasarkan rumusan masalah diatas adalah:
1. Mengetahui Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri.
2. Mengetahui Kaya Muhammad Abid Al-Jabiri.
3. Mengetahui Pemikiran Muhammad Abid
Al-Jabiri.
Pembahasan
1. Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
Dalam kancah intelektual muslim
kontemporer nama Al Jabiri sebutan Muhammad Abid Al Jabiri- bukanlah nama yang
asing. Al Jabiri lahir di Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko
tahun 1936. Masa pendidikannya ia tempuh di kotanya sendiri, mulanya ia dikirim
ke sekolah agama, lalu ke sekolah swasta nasionalis (Madrasah hurrah wathaniyah)
yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan.[5]
Sejak tahun 1951– 1963 ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah lanjutan
negeri (setingkat SMA) di Casablanca. Setelah Maroko merdeka, Al Jabiri
mendapatkan gelar diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu
pengetahuan).[6]
Kebesaran nama Al Jabiri memang
tidak lepas dari lingkungan dan dunia politik yang melingkarinya sebagaimana
keluarganya yang juga aktivis partai. Salah satu pemimpin sayap kiri pecahan
partai Istiqlal yakni Mehdi ben Barka, yang dalam perkembangannya partai ini
kemudian memisahkan diri dan mendirikan The Union Nationale De Forces
Populaires (UNFP) kemudian berganti nama menjadi Union Socilieste Des
Forces Populaires (USFP), adalah orang dekat Al Jabiri yang mendampingi dan
membimbing Al Jabiri semasa muda. Ia juga yang menyalurkan Al Jabiri untuk bisa
bekerja disalah satu lembaga penerbitan resmi partai Istiqlal yakni Jurnal Al
‘Alam yang saat itu menjadi tulang punggung dan pusat informasi bagi partai
Istiqlal.[7]
Tahun 1958 Al Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk memperdalam
filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Akan tetapi ia tidak bertahan lama
di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat yang saat itu
baru didirikan. Selama masa pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti
aktivitas politiknya, sampai kemudian tahun 1963 ia masuk penjara dengan
tuduhan makar terhadap negara yang saat itu memang banyak disematkan kepada
anggota partai UNFP lainnya. [8]
Setelah ia keluar dari penjara, tahun
1964 Al Jabiri kembali ke lingkungan akademiknya dengan mulai mengajar filsafat
ditingkat sarjana muda, selain itu juga ia tergabung dalam beberapa forum.
Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan Mustofa al Qamari bekerjasama untuk
menerbitkan teks book tentang pemikiran Islam dan filsafat yang
diperuntukkan bagi sarjana muda ditahun akhir sebelum mereka menyelesaikan
pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa aktifitas Al Jabiri baik
dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum lain telah membentuk dia
menjadi intelektual yang sangat penting era itu. Beberapa artikel dengan
beragam isu yang dihembuskan berhasil dipublikasikan di Maroko.
Ia kemudian melanjutkan studinya
untuk memperoleh gelar magister sampai tahun 1967, dengan judul tesis Falsafah
al Tarikh ‘inda Ibnu Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi. Dan saat
itu dia sudah mulai mengajar filsafat di Universitas V Rabat Maroko. Tahun
berikutnya sampai 1970 Al Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Ph.D dengan disertasi tentang
pemikiran Ibn Kholdun, dibawah bimbingan Najib Baladi.
Selama dekade 1970 -
an nama Al Jabiri terus berkibar lewat beberapa tulisannya yang diterbitkan
secara berkala baik khususnya yang berkenaan dengan Pemikiran Islam, sehingga
cepat mendapat respon dari berbagai kalangan baik intelektual maupun akademisi
dunia Arab. Tahun 1976 ia mulai mengenalkan dua buah karyanya tentang
epistemologi (satu tentang matematika dan rasionalisme modern dan yang lain
tentang metode empiris dan perkembangan pemikiran ilmiah), sekalipun sampai
saat itu ia tidak bisa meninggalkan aktifitas politiknya yang telah ia geluti
semenjak awal. Hal itu terbukti dengan ia menjadi anggota biro politik USFP
sejak tahun 1975, sekaligus sebagai salah satu pendirinya. Tapi bagaimanapun,
ia akhirnya harus memilih antara di dunia akademis intelektual atau terus
menggeluti politik. Tahun 1980–1981 setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya
ia memilih untuk mencurahkan energi dan pikirannya untuk intelektualitas dan
menggeluti bidang keilmuan, sekaligus mengundurkan diri dari biro politik yang
telah dijabatnya. Semenjak itu ia terus berkonsentrasi untuk dunia ilmiah
beberapa tulisan dan artikelnya ia kumpulkan dan ia terbitkan termasuk beberapa
artikel yang pernah ia presentasikan dalam beberapa forum seminar ataupun
konferensi. Beberapa judul buku yang telah berhasil ia himpun adalah Nahnu
wa al turats, dua tahun kemudian ia menerbitkan sebah buku lagi dengan
judul Al Khittab Al Arabi Al Muassir Dirasah Taqliliyah Naqdiyyah (Wacana
Arab Kontemporer; Studi Kritis Dan Analitis) karya-karyanya terus bertebaran
dengan terbitnya magnum opus yakni Naqd al ‘Aql al ‘Arabi yang
dipublikasikan tahun 1984,1986 dan tahun 1990. Kalau dirunut perjalanan
intelektual Al Jabiri cukup mendulang hasil setelah menerbitkan kurang lebih 17
karya 5 dan beberapa tulisan yang tersebar di berbagai terbitan, sungguh
menakjubkan.
Al Jabiri menguasai
tiga bahasa: bahasa arab (bahasa ibu), prancis (baca dan tulis), dan inggris
(baca saja). Al Jabiri muda adalah seorang aktivis politik berideologi sosialis
yang sempat bergabung dalam partai Union
Nationale Des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union Socilieste
Des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975, ia sempat menjadi anggota
biro politik USFP. Selain pernah aktif di dunia politik, Al Jabiri lebih
dikenal sebagai seorang akademisi yang sempat menjabat Pengawas da Pengarah
Pendidikan bagi Guru-guru Filsafat di tingkat menengah atas, sejak tahun
1964-1967. Sekarang ia masih menjadi Guru Besar Filasafat dan Pemikiran Islam
di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat, Sejak 1967.[9]
Kondisi
sosial politik dunia arab pada tahun-tahun dimana al jabiri sedang bergulat
dengan dinamika pemikiran intelektual, sedang berada dalam goncangan oleh
berbagai persoalan yang dimunculkan oleh kaum modernitas. Wacana modernitas dipicu
oleh daya tarik dan superioritas Barat dalam berbagai bidang kehidupan.
Kekelahan arab atas israel semakin
mempertegas keraguan mereka untuk mempertanyakan ulang tentang masa keemasan
kerajaan islam-arab klasik. Problematika tersebut menjadikan pemikir arab
terpolarisasi pada dua sisi ekstrim dalam menyikapinya. Dan kbanyakan dari
mereka mengambil sikap eklektisme, yaitu menggabungkan apa yang kelihatannya
positif dalam dua bentuk pilihan tersebut.
Al-Jabiri
termasuk pada golongan pemikir arab yang melakukan hal tersebut yaitu eklektisme dalam menyikapi modernitas. Dalam
artian, menggabungkan antara modernitas dan otentisitas tradisi yang bersumber
dari Islam sehingga ia tidak dimasukan kepada tokoh revolusioner pemikir Arab. Namun
ia lebih cocok disebut sebagai pemikir reformistik.[10]
Kredibilitas al
Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sedemikian diakui dikalangan pemikir
Islam kontemporer, sebut saja Mohammad Arkoun dan Fetimma Mernisi yang keduanya
sama-sama berasal dari Maghribi. Secara geografis, lingkungan di Maroko sangat
mendukung bagi bperkembangan intelektual al Jabiri. Selain Aljazair dan
Tunisia, Maroko sebagai bagian dari wilayah Maghribi merupakan negeri yang
pernah menjadi wilayah protektoriat Prancis. Secara tidak langsung, tradisi dan
bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Maroko,
efeknya sarjana dan intelektual Maroko lebih mudah mengenal warisan pemikiran
yang menggunakan bahasa Prancis. Nama-nama seperti Hichem Djait, Abd al Razaq
al Daway, Abdullah Laroui, Muhammad Arkoun dan Fetimma Mernisi adalah sederet
nama yang menggandrungi filsafat Prancis, mulai dari strukturalis, post
strukturalis sampai post modernis. Abid al-Jabiri menghembuskan nafas terakhir
pada Senin, 3 Mei 2010, di Casablanca. Irwan Masduqi, murid dari Abid al-Jabiri
di Indonesia menulis artikel di islamlib.com berjudul “Selamat jalan Abed
al-Jabiri: Obituari dari seorang Santri” dan di akhir tulisannya ia menulis:
“Saya
sangat berhutang budi pada filsuf Maroko ini. Rasanya, hubungan konseptual saya
dengan al-Jabri nyaris seperti hubungan Ibn Rusyd dengan Aristoteles atau
Schleiermacher dengan Friedrich Ast; hubungan murid dan guru.”
Yang menarik, jarak
lima hari setelah kematian al-Jabiri, salah satu peneliti INSITS yang sedang
mengambil Ph.D di ISTAC dinyatakan lulus tanpa koreksi, beliau adalah Nirwan
Syafrin. Disertasinya membahas pemikiran al-Jabiri berjudul A Critique of
Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special Reference to
Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Dr. Adian Husaini menulis berita ini dalam CAP-nya
yang dimuat situs Islam hidayatullah dengan judul Dr. Nirwan lulus, Al-Jabiri
meninggal dunia.[11]
2.
Karya-karya Muhammad Abid Al-Jabiri
Al-Jabiri
telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran,
majalah atau berbentuk buku dengan berbagai jurusan ilmu, politik, filsafat
atau sosial. Buku pertamanya adalah Nahwu wal Turast kemudian al-Khitab
al-‘Arabi al Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku ini memang
sengaja dipersiapkan oleh Al-jabiri sebagai pengantar bukunya ‘Naqd al-al’
Aql al-‘Arabi’ (kritik nalar Arab).
Karya lainnya
yang telah diterbitkan Takwim al-‘Aql al-‘Arabi, Bunya al-‘Aql-‘Arabi,
al-A’ql al-Siyasi-‘Arabi, al-‘Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah
Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah, al-Turath wa al
Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-‘Arabi al-Mua’asir, Tahafual al-thafut
intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr
al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh,
al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-‘Arabi Muraja’ah
naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah,
al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-‘Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn
Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-A’rabi.[12]
Salah satu pemikiran Abid al-Jabiri adalah
tentang modernitas, ia berambisi besar untuk membangun sebuah epistemologi baru
yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia merasa tidak puas
dengan usaha pembaharuan yang dilakukan oleh intelektual muslim seperti gerakan
salaf, yang menurutnya mereka terlalu mengagungkan pencapaian masa silam
sehingga cenderung mengabaikan relitas sosial masyarakat.
Al-Jabiri
juga mengkritik model pembaharuan kelompok liberal yang secara membabi buta
ingin mengadopsi peradaban barat untuk membangun peradaban umat Islam, dan
mengadopsi metodologi barat dalam menilai turats mereka, seolah-olah
merek lupa bahwa ketika mereka mengadopsi metodologi tersebut, dengan
sendirinya mereka juga mengadopsi worldview para orientalis. Dan sebagai
gantinya al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar arab dengan
tiga epistemologi yaitu Epistemologi; Burhani, Bayani, dan ‘Irfani.[13]
3. Pemikiran Tiga Epistimologi Muhammad Abid Al-Jabiri
1.
Epistemologi
Bayani
Yaitu pola
pikir yang bersumber dari nash, ijma’, ijtihad dan ilmu bahasa Arab. Pemikiran
al-Jabiri ini adalah batil baik secara syariat atau akal yang berimplikasi pada
penyamaan ilmu wahyu dan ilmu manusia dan menghilangkan sifat rabbaniyah dari
ilmu-ilmu Islam dan menganggapnya hanya sekedar bahasa saja.
2.
Epistemologi
Burhani
Yang
dimaksud disini adalah bahwa mengukur benar tidaknya sesuatu adalah dengan
berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia dan akal dengan
terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral. Sumber epistemologi ini adalah
realita dan empiris; alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah
diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baiak di laboratorium
ataupun alam nyata, baik yang bersifat social maupun alam.
3.
Epistemologi
‘Irfani
Yaitu
dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’ah, penafsiran esoterik terhadap
Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Dr. Khalid Kabir Ilal mengatakan
:
Bahwa ketiga epistemologi dari
al-Jabiri ini adalah untuk menolong sekulerisme dan nasionalisme atas nama
Islam seperti dengan mendahulukan epistemologi burhani dari pada epistemologi
bayani yang di dalamnya terdapat al-Quran dan al-Sunnah sehingga ia menganggap
bahwa ilmu syariat tidak bisa menjadi patokan atau dalil serta bukti kebenaran.
Al-Jabiri
juga telah jatuh dalam kesalahan dalam sistem epistemologi yang dibangunnya
yaitu dengan memasukkan seorang pemikir ke dalam salah satu ketiga kategori
tersebut. Misalnya al-Jabiri melihat seorang faqih sebagai representasi sistem
bayani maka ia akan melepaskannya dari sistem irfani dan burhani. Padahal
menurutnya seorang faqih belum tentu hanya sebagai penganut bayani secara hitam
putih, karena mungkin saja ia juga menganut sistem yang lain, sebagai contoh
Ibnu Sina dan Ghazali, sangat sulit untuk dimasukkan dalam salah satu kategori
di atas. Keduanya bukanlah penganut sistem irfani semata, seperti Ibnu Sina
yang dikenal sebagai seorang ilmuwan dalam kedokteran. Demikian juga dengan
Ghazali,disiplin ilmu yang ia kuasai sangat luas. Beliau seorang filosof, oleh
sebab itu masuk dalam kategori burhani, tapi ia juga seorang sufi yang irfani
dan ahli fiqih yang bayani. Dalam dirinya ketiga sistem berfikir tersebut
melekat. Maka sikap inkonsistensi al-Jabiri ini adalah salah satu titik
kelemahan dalam pemikiran Al-Jabiri.
Kesimpulan
Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan
seorang pemikir Arab kontemporer asal maroko yang memproyeksikan proyek
pemikiran nalar yang dimana Al Jabiri lahir di Figuig atau Fejij
(Pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia tempuh di
kotanya sendiri, mulanya ia dikirim ke sekolah agama, lalu ke sekolah swasta
nasionalis (Madrasah hurrah wathaniyah) yang didirikan oleh gerakan
kemerdekaan. Sejak tahun 1951– 1963 ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah
lanjutan negeri (setingkat SMA) di Casablanca. Setelah Maroko merdeka, al
Jabiri mendapatkan gelar diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science
(ilmu pengetahuan). Al Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk
memperdalam filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Akan tetapi ia tidak
bertahan lama di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat
yang saat itu baru didirikan. Selama masa pendidikannya, ternyata ia terus
menggeluti aktivitas politiknya, sampai kemudian tahun 1963 ia masuk penjara
dengan tuduhan makar terhadap negara yang saat itu memang banyak disematkan
kepada anggota partai UNFP, Ia kemudian melanjutkan studinya untuk memperoleh
gelar magister sampai tahun 1967, dengan judul tesis Falsafah al Tarikh
‘inda Ibnu Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi. Dan saat itu dia
sudah mulai mengajar filsafat di Universitas V Rabat Maroko. Tahun berikutnya
sampai 1970 al Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Ph.D dengan disertasi tentang
pemikiran Ibn Kholdun, dibawah bimbingan Najib Baladi.
Kondisi
sosial politik dunia arab pada tahun-tahun dimana al jabiri sedang bergulat
dengan dinamika pemikiran intelektual, sedang berada dalam goncangan oleh
berbagai persoalan yang dimunculkan oleh kaum modernitas. Wacana modernitas
dipicu oleh daya tarik dan superiositas Barat dalam berbagai bidang kehidupan.
Kekelahan arab atas israel semakin
mempertegas keraguan mereka untuk mempertanyakan ulang tentang masa keemasan
kerajaan islam-arab klasik. Problematika tersebut menjadikan pemikir arab
terpolarisasi pada dua sisi ekstrim dalam menyikapinya. Dan kebanyakan dari
mereka mengambil sikap eklektisme, yaitu menggabungkan apa yang kelihatannya
positif dalam dua bentuk pilihan tersebut.
Banyak
karya tulis yang dibuat olehnya diantaranya ; Nahwu
Wal Turast Al-Khitab Al-‘Arabi Al Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, Naqd Al-Al’ Aql Al-‘Arabi’
(Kritik Nalar Arab), Takwim Al-‘Aql Al-‘Arabi, Bunya Al-‘Aql-‘Arabi, Al-A’ql
Al-Siyasi-‘Arabi, Al-‘Aq Al-Akhalqi Al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah
Li Nuzum Al-Qiyam Fi Al-Thaqafah Al-Arabiyyah, Al-Turath Wa Al Hadatshah,
Ishkaliyyah Al Fikr Al-‘Arabi Al-Mua’asir, Tahafual Al-Thafut Intisaran Li Ruh
Al-Ilmiyyah Wa Ta’sisan Li Akhlaqiyat Al-Hiwar, Qadaya Al-Fikr Al ‘Mu’asir
Al’awlamah, Sira’ Al-Hadarat, Al-Wahdah Ila Al-Ahklaq, Al-Tasamuh,
Al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, Al-Mashru Al-Nahdawi Al-‘Arabi Muraja’ah
Naqdiyayh, Al-Din Wa Al Dawlah Wa Thabiq Al-Shari’ah, Mas’alah Al-Hawwiyah,
Al-Muthaqqafun Fi Al-Hadarah Al-‘Atabiyyah Mihnab Ibn Hambal Wa Nukkhah Ibn
Rusyd, Al-Tahmiyyah Al-Basyaraiyyah Di Al-Watan Al-A’rabi.
Al-Jabiri
juga mengkritik model pembaharuan kelompok liberal yang secara membabi buta
ingin mengadopsi peradaban barat untuk membangun peradaban umat Islam, dan
mengadopsi metodologi barat dalam menilai turats mereka, seolah-olah
merek lupa bahwa ketika mereka mengadopsi metodologi tersebut, dengan
sendirinya mereka juga mengadopsi worldview para orientalis. Dan sebagai
gantinya al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar arab dengan
tiga epistemologi yaitu Epistemologi; Burhani, Bayani, dan ‘Irfani.
Referensi :
-
Trilogi Nalar
Menurut Muhammad Abed Al Jabiri, Biografi Muhammad Abed Al Jabiri pdf
-
Hamid, Abdul Dan Yaya. Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
-
Ma’ruf, Moh Zaki, ”Reformulasi Pemikiran
Arab Islamperspektif Muhammad Abed Al Jaribi”, Skripsi.
-
Kurdi,dkk. Hermeneutika
Al-Qur’an & Hadis, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
[1] Esa
Agung Gumelar adalah seorang mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jurusan Tafsir Hadits
Semester Tiga
kelas B.
[3]Ibid : Adat Kebiasaan Turun-Temurun (Dari Nenek
Moyang) Yang Masih Dijalankan Dalam Masyarakat.
[5] Trilogi Nalar Menurut Muhammad Abed Al Jabiri, Biografi Muhammad Abed Al Jabiri
Lihat Di : http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332-bab3_210-2.pdf di unduh pada tanggal 12-11-2015
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Abdul Hamid Dan Yaya. Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet.
Ke-1. Hlm. 120
[10] Kurdi,dkk. Hermeneutika
Al-Qur’an & Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010 ), cet. Ke-1. Hlm.
87-88
[12] Moh Zaki Ma’ruf, ”Reformulasi Pemikiran Arab
Islamperspektif Muhammad Abed Al Jaribi”, Skripsi Pada Program Sarjana Studi
Filsafat, Universitas Indonesia, Depok, 2010.
Hlm. 14-15.
Komentar
Posting Komentar
Nama :
Komentar :
Saran :
Solusi :